Dilema Srikandi
Srikandi, Sistem Informasi Kearsipan Dinamis Terintegrasi hadir untuk menjawab tantangan perkembangan dunia digital di bidang kearsipan. Srikandi dibuat untuk mengelola arsip elektronik yang tercipta di lembaga pemerintah baik pusat atau daerah, dimana nantinya bisa terintegrasi antar lembaga di seluruh wilayah Indonesia sehingga dapat memudahkan akses dan komunikasi antar lembaga dalam satu aplikasi.
Srikandi ditetapkan dan diluncurkan pada tahun 2020 dalam rangka untuk percepatan implementasi Peraturan Presiden No. 95 Tahun 2018 tentang Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik. Srikandi merupakan hasil kolaborasi Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB), Kementerian Komunikasi dan Informatika, Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), dan Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) yang disahkan oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan RI (Menko Polhukam RI) bersama dengan Menteri PAN RB pada tanggal 27 Oktober 2020 dengan Keputusan Menteri PANRB Nomor 679 Tahun 2020. Srikandi adalah aplikasi umum bidang kearsipan dinamis yang dibuat untuk mewujudkan efisiensi penyelenggaraan administrasi pemerintahan dan penyelenggaraan kearsipan yang terpadu. Aplikasi tersebut bersifat Government to Government (G2G), sehingga dapat dimanfaatkan oleh instansi pusat maupun daerah.
Di awal peluncuran aplikasi ini, banyak lembaga baik pusat atau daerah yang tidak antusias terhadap kehadiran aplikasi tersebut, khususnya bagi lembaga telah memiliki aplikasi sejenis untuk pengelolaan arsip elektroniknya. Aplikasi Srikandi meskipun digadang-gadang sebagai aplikasi yang dirancang sudah sesuai dengan kaidah kearsipan yakni dari tahapan penciptaan sampai ke penyusutan, tetapi hal itu belum sepenuhnya dapat diterapkan atau masih dalam tahap pengembangan. Selain itu dari aplikasi lokal sejenis dari masing-masing lembaga kadang masih memiliki keunggulan di banding Srikandi baik dari sisi setting aplikasi yang lebih mudah dan terintegrasi dengan Simpeg (Sistem Informasi Kepegawaian) atau lebih user friendly dalam bentuk mobile dan lain sebagainya.
Kekurangan Srikandi yang tidak ramah pada setting aplikasinya membuat lembaga, khususnya di pemerintah daerah yang sudah memiliki aplikasi sejenis enggan untuk menerapkan di lingkungannya. Meskipun ini program nasional yang wajib dilaksanakan sampai dengan tahun 2024 tetapi sampai saat ini penggunaan Srikandi belum semua dilaksanakan di tingkat Propinsi atau Kabupaten/Kota. Adanya kekurangan yang dimiliki Srikandi juga membuat Lembaga Kearsipan Daerah (LKD) yang akan menjadi pengelola Srikandi, mengalami kesulitan dalam memahamkan dan menyakinkan kepada pejabat tinggi di tingkat Propinsi atau Kabupaten/Kota, dan kepala lembaga terkait untuk menerapkan aplikasi Srikandi ini. Hal ini merupakan beban bagi LKD karena disatu sisi harus melaksanakan program nasional yang telah dicanangkan, tetapi di lain sisi juga harus berjibaku dalam berkoordinasi dengan lembaga terkait, serta harus berlapang dada untuk menerima keluhan dari berbagai Perangkat Daerah/Unit Kerja jika ini dilaksanakan, karena adanya banyak kekurangan, kendala error, aplikasi lemot dan lain sebagainya. Sedangkan aplikasi lokal lebih memberikan fasilitasi kemudahan.
Sesuai dengan arahan ANRI di tahun 2024 Srikandi harus sudah diterapkan diseluruh lembaga pemerintah baik pusat atau daerah bersamaan dengan diresmikannya pusat pemerintahan RI yang baru yakni IKN, Ibu Kota Negara Nusantara di Kalimantan Timur. Dengan berjalannya pusat pemerintahan yang baru maka diharapkan semua lembaga pusat atau daerah sudah terintegrasi dalam Srikandi. Hal inilah yang menjadikan lembaga pemerintah pusat dan pemerintah daerah, khususnya LKD yang belum live Srikandi, harus menyiapkan setting aplikasi secara keseluruhan dan segala perangkat pendukung serta SDM untuk dapat segera tergabung dalam live Srikandi. [TUS]